Pendidikan dasar dan menengah merupakan salah satu isu yang menjadi sasaran kampanye politik para calon presiden dalam pemilihan presiden lalu. Informasi yang disampaikan oleh presiden terpilih dan para lawan politiknya sering kali berseberangan. Sebagai contoh, satu pihak membanggakan “anggaran pendidikan 20 persen” yang mestinya disampaikan secara lebih komprehensif sebab terdapat perubahan mendasar sejak Februari 2008.
Hal ini konsekuensi dari Mahkamah Konstitusi yang memutuskan bahwa gaji pendidik yang sebelumnya di luar anggaran pendidikan menjadi termasuk di dalamnya. MK beralasan bahwa pemisahan gaji guru dari anggaran pendidikan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas. Di sisi lain, proses sertifikasi guru yang memiliki konsekuensi anggaran negara yang cukup besar masih berjalan.
Masyarakat harus paham bahwa anggaran pendidikan 20 persen atau 204,7 triliun rupiah pada tahun 2009 sudah termasuk gaji pendidik. Contoh lainnya ialah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), istilah “Sekolah Gratis”, menurut Prabowo Subianto, dinilai tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Informasi kian simpang siur.
Sekolah Gratis
Kebijakan BOS di Indonesia tidak terlepas dari komitmen dunia internasional dalam mewujudkan Millennium Development Goals atau MDGs. BOS dipandang sebagai investasi pendidikan yang diharapkan mampu meningkatkan angka partisipasi sekolah, menurunkan angka putus sekolah, serta membuka akses seluas-luasnya bagi siswa miskin untuk mengenyam pendidikan dasar dan menengah.
Saat ini, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama menerima BOS tiap triwulan. Dana ditransfer langsung ke rekening sekolah. Satuan perhitungan BOS ialah per siswa per tahun, yaitu 397 ribu rupiah (SD di kabupaten), 400 ribu rupiah (SD di kota), 570 ribu rupiah (SMP di kabupaten), dan 575 ribu rupiah (SMP di kota).
Kebijakan ini disambut baik oleh sekolah terutama bagi sekolah di perdesaan yang memiliki banyak siswa miskin. Sekolah dengan karakter seperti itu umumnya sulit untuk mengumpulkan dana komite yang berasal dari orang tua, meski bilangannya hanya 2.000 rupiah hingga 5.000 rupiah per bulan per siswa.
Sekolah tipe ini justru memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan istilah sekolah gratis secara “murni” bahkan sejak tahun ajaran 2005/2006 ketika BOS pertama kali diluncurkan. Penerapan sekolah gratis secara murni dapat diselenggarakan apabila terdapat peraturan daerah atau peraturan bupati/wali kota serta BOS pendamping dari anggaran daerah.
Lalu, bagaimana dengan sekolah lainnya? Sekolah negeri favorit sulit mewujudkan sekolah gratis sebab tuntutan terhadap pencapaian mutu tertentu membutuhkan biaya yang belum dapat ditutupi dengan BOS. Sekolah tipe ini umumnya hanya gratis dalam iuran bulanan namun untuk buku dan pungutan lain masih dibebankan kepada orang tua.
Sayangnya, biaya buku dipastikan jauh lebih besar daripada iuran bulanan. Sebagian sekolah juga masih menerima sumbangan sukarela dari orang tua. Sedangkan bagi sekolah swasta, Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) masih dibolehkan untuk memungut. Meski diwajibkan menerima BOS, banyak sekolah swasta pada tahun ini menolak BOS.
Kebijakan BOS bagaimanapun harus tetap dikritisi. Secara umum, kebijakan tersebut belum ditopang dengan dana sosialisasi dan perangkat struktural yang mapan. BOS diperlakukan seolah-olah ia adalah proyek yang di dalamnya sekolah harus menyusun perencanaan penggunaan, pelaporan keuangan yang cukup rumit, dan mesti siap diperiksa sewaktu-waktu. Hal ini dilaksanakan sekolah tanpa dibekali petunjuk teknis dan kapasitas yang cukup dalam akuntansi dan manajemen keuangan keproyekan. Sementara buku pedoman BOS 2009 belum mampu menjawab persoalan teknis, misalnya ketiadaan biaya minimum pendidikan untuk sekolah dengan jumlah murid sedikit.
Tidak adanya aturan khusus bagi sekolah di daerah terpencil juga cukup menyulitkan. Sebab sekolah membutuhkan biaya ratusan hingga jutaan rupiah untuk mencairkan BOS pada tiap triwulan. Di sisi lain, belum seluruh kabupaten kota yang mengalokasikan APBD untuk BOS pendamping atau BOS Daerah.
Fisik Sekolah
Adanya anggapan bahwa BOS dapat mengatasi semua masalah di sekolah sepertinya kurang tepat. Bangunan atau fisik sekolah adalah salah satunya. BOS tidak otomatis menciptakan bangunan sekolah menjadi bagus. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, bahwa pembiayaan fisik sekolah berbeda dengan BOS. Fisik sekolah berasal dari anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu objek penerima ditentukan oleh pemda melalui dinas terkait dan tidak tertutup kemungkinan terdapat alokasi dari anggaran daerah.
Kedua, bahwa rehabilitasi berat dilarang dibiayai oleh BOS. Sehingga tidaklah mengherankan jika banyak sekolah yang memiliki bangunan tidak layak namun masih dapat berjalan “normal”. Pada kasus ini sekolah ditempatkan pada situasi dilematis yaitu dana yang didapat dari BOS tidak dapat mereka gunakan untuk merehabilitasi sekolah mereka yang nyaris roboh.
Kebijakan pemerintah pada tingkat SD dan SMP pada dasarnya terkait satu dengan yang lain. Pengelolaan dana secara mandiri di sekolah pada tingkat tertentu mampu mendorong sekolah lebih partisipatif dan kreatif. Namun hal ini mesti didukung oleh kapasitas yang memadai serta penerapan nilai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Jika tidak, maka dana tidak akan tepat sasaran bahkan rawan penyelewengan.
Peran kepala sekolah sebagai “pimpinan proyek” yang bertanggung jawab dalam mengelola BOS, DAK dan berbagai block grant di sekolah idealnya dialihkan ke tenaga khusus. Komite Sekolah serta organisasi profesi guru seperti Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan lain sebagainya mesti diperkuat sehingga mampu mendukung pemda untuk meningkatkan kapasitas pendidik dan menjawab permasalahan teknis di lapangan. Di atas itu semua, kesadaran dan partisipasi masyarakat, terutama orang tua siswa, harus ditingkatkan sehingga peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah tidak hanya menjadi beban pemerintah dan sekolah semata.***
Penulis adalah alumni Pascasarjana Universitas Indonesia, Konsultan Bank Dunia di Jakarta
Teaser:
Kesadaran dan partisipasi masyarakat, terutama orang tua siswa, harus ditingkatkan sehingga peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah tidak hanya menjadi beban pemerintah dan sekolah semata.***
Amalia Falah Alam
sumber : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=14159,Kamis, 30 Juli 2009
Mari kita benahi dunia pendidikan kita sebaik-baiknya, tantangan-tangan yang ada marilah kita rubah menjadi peluang-peluang yang harus kita capai, pasti kita BISA!!! Bravo Baitul Jihad !!
BalasHapus